UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG
ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya
berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status
pribadi dan status hukum atas setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa
Penting yang dialami oleh Penduduk Indonesia yang berada di dalam dan/atau di
luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. bahwa untuk memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi dan
status hukum setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami
oleh Penduduk Indonesia dan Warga Negara Indonesia yang berada di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu dilakukan pengaturan tentang
Administrasi Kependudukan;
c. bahwa pengaturan tentang Administrasi Kependudukan hanya dapat terlaksana
apabila didukung oleh pelayanan yang profesional dan peningkatan kesadaran
penduduk, termasuk Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri;
d. bahwa peraturan perundang-undangan mengenai Administrasi Kependudukan yang
ada tidak sesuai lagi dengan tuntutan pelayanan Administrasi Kependudukan yang
tertib dan tidak diskriminatif sehingga diperlukan pengaturan secara menyeluruh
untuk menjadi pegangan bags semua penyelenggara negara yang berhubungan
dengan kependudukan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d, perlu membentuk undang-undang tentang Administrasi
Kependudukan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4), Pasal 26, Pasal 28 B ayat
(1), Pasal 28 D ayat (4), Pasal 28 E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 1, Pasal 29 ayat
(1), Pasal 34 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019):
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
32);
4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3474);
5. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International
Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination 1965
(Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial
1965) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 83, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3852);
6. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Iembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3882);
7. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3886);
8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4235);
9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4548):
10. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4634);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang diinaksud dengan:
1. Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan
dokumen dan Data Kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil, pengelolaan
informasi Administrasi Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan
pembangunan sektor lain.
2. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
3. Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain
yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara Indonesia.
4. Orang Asing adalah orang bukan Warga Negara Indonesia.
5. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan dalam negeri.
6. Penyelenggara adalah Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang
bertanggung jawab dan berwenang dalam urusan Administrasi Kependudukan.
7. Instansi Pelaksana adalah perangkat pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan
berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan Administrasi Kependudukan.
8. Dokumen Kependudukan adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang
mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil.
9. Data Kependudukan adalah data perseorangan dan/atau data agregat yang terstruktur sebagai hasil
dari kegiatan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
10. Pendaftaran Penduduk adalah pencatatan biodata Penduduk, pencatatan atas pelaporan Peristiwa
Kependudukan dan pendataan Penduduk rentan Administrasi Kependudukan serta penerbitan
Dokumen Kependudukan berupa kartu identitas atau surat keterangan kependudukan.
11. Peristiwa Kependudukan adalah kejadian yang dialami Penduduk yang harus dilaporkan karena
membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk
dan/atau surat keterangan kependudukan lainnya meliputi pindah datang, perubahan alamat, serta
status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap.
12. Nomor Induk Kependudukan, selanjutnya disingkat NIK, adalah nomor identitas Penduduk yang
bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai Penduduk
Indonesia.
13. Kartu Keluarga, selanjutnya disingkat KK, adalah kartu identitas keluarga yang memuat data tentang
nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta identitas anggota keluarga.
14. Kartu Tanda Penduduk, selanjutnya disingkat KTP, adalah identitas resmi Penduduk sebagai bukti
diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
15. Pencatatan Sipil adalah pencatatan Peristiwa Penting yang dialami oleh seseorang dalam register
Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana.
16. Pejabat Pencatatan Sipil adalah pejabat yang melakukan pencatatan Peristiwa Penting yang dialarni
seseorang pada Instansi Pelaksana yang pengangkatannya sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
17. Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir
rnati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan
nama dan perubahan status kewarganegaraan.
18. Izin Tinggal Terbatas adalah izin tinggal yang diberikan kepada Orang Asing untuk tinggal di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu yang terbatas sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundangundangan.
19. Izin Tinggal Tetap adalah izin tinggal yang diberikan kepada Orang Asing untuk tinggal rnenetap di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan.
20. Petugas Registrasi adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas dan tanggung jawab memberikan
pelayanan pelaporan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting serta pengelolaan dan
penyajian Data Kependudukan di desa/kelurahan.
21. Sistem Informasi Administrasi Kependudukan, selanjutnya disingkat SIAK, adalah sistem informasi
yang memanfaatkan teknologl informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi pengelolaan informasi
administrasi kependudukan di tingkat Penyelenggara dan Instansi Pelaksana sebagai satu
kesatuan.
22. Data Pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta
dilindungi kerahasiaannya.
23. Kantor Urusan Agama Kecamatan, selanjutnya disingkat KUAKec, adalah satuan kerja yang
melaksanakan pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk pada tingkat kecamatan bagi Penduduk
yang beragama Islam.
24. Unit Pelaksana Teknis Dinas Instansi Pelaksana, selanjutnya disingkat UPTD Instansi Pelaksana,
adalah satuan kerja di tingkat kecamatan yang melaksanakan pelayanan Pencatatan Sipil dengan
kewenangan menerbitkan akta.
BAB II
HAK DAN KEWAJIBAN PENDUDUK
Pasal 2
Setiap Penduduk mempunyai hak untuk memperoleh:
a. Dokumen Kependudukan;
b. pelayanan yang sama dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil;
c. perlindungan atas Data Pribadi;
d. kepastian hukum atas kepemilikan dokumen;
e. informasi mengenai data hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil atas dirinya dan/atau
keluarganya; dan
f. ganti rugi dan pemulihan nama baik sebagai akibat kesalahan dalam Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil serta penyalahgunaan Data Pribadi oleh Instansi Pelaksana.
Pasal 3
Setiap Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya
kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Pasal 4
Warga Negara Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib
melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana
Pencatatan Sipil negara setempat dan/atau kepada Perwakilan Republik Indonesia dengan memenuhi
persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
BAB III
KEWENANGAN PENYELENGGARA DAN INSTANSI PELAKSANA
Bagian Kesatu
Penyelenggara
Paragraf 1
Pemerintah
Pasal 5
Pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menyelenggarakan Administrasi Kependudukan
secara nasional, yang dilakukan oleh Menteri dengan kewenangan meliputi:
a. koordinasi antarinstansi dalam urusan Administrasi Kependudukan;
b. penetapan sistem, pedoman, dan standar pelaksanaan Administrasi Kependudukan;
c. sosialisasi Administrasi Kependudukan;
d. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan urusan Administrasi Kependudukan;
e. pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan berskala nasional: dan
f. pencetakan, penerbitan, dan distribusi blangko Dokumen Kependudukan.
Paragraf 2
Pemerintah Provinsi
Pasal 6
Pemerintah provinsi berkewajiban dan bertanggung jawab menyelenggarakan urusan Administrasi
Kependudukan, yang dilakukan oleh gubernur dengan kewenangan rneliputi:
a. koordinasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan;
b. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil;
c. pembinaan dan sosialisasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan;
d. pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan berskala provinsi: dan
e. koordinasi pengawasan atas penyelenggaraan Administrasi Kependudukan.
Paragraf 3
Pemerintah Kabupaten/Kota
Pasal 7
(1) Pemerintah kabupaten/kota berkewajiban dan bertanggung jawab menyelenggarakan urusan
Administrasi Kependudukan, yang dilakukan oleh bupati/walikota dengan kewenangan meliputi:
a. koordinasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan;
b. pembentukan Instansi Pelaksana yang tugas dan fungsinya di bidang Administrasi
Kependudukan;
c. pengaturan teknis penyelenggaraan Administrasi Kependudukan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan;
d. pembinaan dan sosialisasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan;
e. pelaksanaan kegiatan pelayanan rnasyarakat di bidang Administrasi Kependudukan:
f. penugasan kepada desa untuk menyelenggarakan sebagian urusan Administrasi
Kependudukan berdasarkan asas tugas pembantuan;
g. pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan berskala kabupaten/kota; dan
h. koordinasi pengawasan atas penyelenggaraan Administrasi Kependudukan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Bagian Kedua
Instansi Pelaksana
Pasal 8
(1) Instansi Pelaksana melaksanakan urusan Administrasi Kependudukan dengan kewajiban yang
meliputi:
a. mendaftar Peristiwa Kependudukan dan mencatat Peristiwa Penting;
b. memberikan pelayanan yang sama dan profesional kepada setiap Penduduk atas pelaporan
Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting;
c. menerbitkan Dokumen Kependudukan;
d. mendokumentasikan hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil;
e. rnenjamin kerahasiaan dan keamanan data atas Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa
Penting; dan
f. melakukan verifikasi dan validasi data dan informasi yang disampaikan oleh Penduduk dalam
pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk pencatatan nikah, talak, cerai, dan
rujuk bagi Penduduk yang beragama Islam pada tingkat kecamatan dilakukan oleh pegawai
pencatat pada KUAKec.
(3) Pelayanan Pencatatan Sipil pada tingkat kecamatan dilakukan oleh UPTD Instansi Pelaksana
dengan kewenangan menerbitkan Akta Pencatatan Sipil.
(4) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk persyaratan dan tata cara Pencatatan
Peristiwa Penting bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan berpedoman pada
Peraturan Perundang-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai UPTD Instansi Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dan prioritas pembentukannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
(1) Instansi Pelaksana melaksanakan urusan Administrasi Kependudukan dengan kewenangan yang
meliputi:
a. memperoleh keterangan dan data yang benar tentang Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa
Penting yang dilaporkan Penduduk;
b. memperoleh data mengenai Peristiwa Penting yang dialami Penduduk atas dasar putusan atau
penetapan pengadilan:
c. memberikan keterangan atas laporan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting untuk
kepentingan penyelidikan, penyidikan, dan pembuktian kepada lembaga peradilan: dan
d. mengelola data dan mendayagunakan informasi hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan
Sipil untuk kepentingan pembangunan.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b berlaku juga bagi KUAKec,
khususnya untuk pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk bagi Penduduk yang beragama Islam.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Pelaksana mempunyai
kewenangan untuk mendapatkan data hasil pencatatan peristiwa perkawinan, perceraian, dan rujuk
bagi Penduduk yang beragama Islam dari KUAKec.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Pejabat Pencatatan Sipil mempunyai kewenangan melakukan verifikasi kebenaran data, melakukan
pembuktian pencatatan atas nama jabatannya, mencatat data dalam register akta Pencatatan Sipil,
menerbitkan kutipan akta Pencatatan Sipil, dan membuat catatan pinggir pada akta-akta Pencatatan
Sipil.
(2) Ketentuan lebih lanjut rnengenai pedoman pengangkatan dan pemberhentian serta tugas pokok
Pejabat Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 12
(1) Petugas Registrasi membantu kepala desa atau lurah dan Instansi Pelaksana dalam Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil.
(2) Petugas Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh
bupati/walikota dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pengangkatan dan pemberhentian serta tugas pokok
Petugas Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB IV
PENDAFTARAN PENDUDUK
Bagian Kesatu
Nomor Induk Kependudukan
Pasal 13
(1) Setiap Penduduk wajib memiliki NIK.
(2) NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku seumur hidup dan selamanya, yang diberikan
oleh Pemerintah dan diterbitkan oleh Instansi Pelaksana kepada setiap Penduduk setelah dilakukan
pencatatan biodata.
(3) NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam setiap Dokumen Kependudukan dan
dijadikan dasar penerbitan paspor, surat izin mengemudi, nomor pokok wajib pajak, polis asuransi,
sertifikat hak atas tanah, dan penerbitan dokumen identitas lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata Cara dan ruang lingkup penerbitan dokumen
identitas lainnya, serta pencantuman NIK diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pendaftaran Peristiwa Kependudukan
Paragraf 1
Perubahan Alamat
Pasal 14
(1) Dalam hal terjadi perubahan alamat Penduduk, Instansi Pelaksana wajib rnenyelenggarakan
penerbitan perubahan dokumen Pendaftaran Penduduk.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penerbitan perubahan dokumen
Pendaftaran Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Paragraf 2
Pindah Datang Penduduk dalam Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Pasal 15
(1) Penduduk Warga Negara Indonesia yang pindah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia wajib melapor kepada Instansi Pelaksana di daerah asal untuk mendapatkan Surat
Keterangan Pindah.
(2) Pindah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah berdomisilinya Penduduk di alamat yang baru
untuk waktu lebih dari 1 (satu) tahun atau berdasarkan kebutuhan yang bersangkutan untuk waktu
yang kurang dari 1 (satu) tahun.
(3) Berdasarkan Surat Keterangan Pindah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penduduk yang
bersangkutan wajib melapor kepada Instansi Pelaksana di daerah tujuan untuk penerbitan Surat
Keterangan Pindah Datang.
(4) Surat Keterangan Pindah Datang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai dasar
perubahan atau penerbitan KK dan KTP bagi Penduduk yang bersangkutan.
Pasal 16
Instansi Pelaksana wajib menyelenggarakan pendaftaran pindah datang Penduduk Warga Negara
Indonesia yang bertransmigrasi.
Pasal 17
(1) Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap
yang pindah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib melaporkan rencana
kepindahannya kepada Instansi Pelaksana di daerah asal.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Instansi Pelaksana mendaftar dan
menerbitkan Surat Keterangan Pindah Datang.
(3) Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaporkan kedatangan kepada Instansi
Pelaksana di daerah tujuan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkan Surat Keterangan
Pindah Datang.
(4) Surat Keterangan Pindah Datang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar
perubahan atau penerbitan KK, KTP, atau Surat Keterangan Tempat Tinggal bagi Orang Asing yang
bersangkutan.
Paragraf 3
Pindah Datang Antarnegara
Pasal 18
(1) Penduduk Warga Negara Indonesia yang pindah ke luar negeri wajib melaporkan rencana
kepindahannya kepada Instansi Pelaksana.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Pelaksana mendaftar dan
menerbitkan Surat Keterangan Pindah ke Luar Negeri.
(3) Penduduk Warga Negara Indonesia yang telah pindah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
berstatus menetap di luar negeri wajib melaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak kedatangannya.
Pasal 19
(1) Warga Negara Indonesia yang datang dari luar negeri wajib melaporkan kedatangannya kepada
Instansi Pelaksana paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal kedatangan.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Pelaksana mendaftar dan
menerbitkan Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri sebagai dasar penerbitan KK dan KTP.
Pasal 20
(1) Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas yang datang dari luar negeri dan Orang Asing yang
memiliki izin lainnya yang telah berubah status sebagai pemegang Izin Tinggal Terbatas yang
berencana bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib melaporkan
kepada Instansi Pelaksana paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterbitkan Izin Tinggal
Terbatas.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Pelaksana mendaftar dan
menerbitkan Surat Keterangan Tempat Tinggal.
(3) Masa berlaku Surat Keterangan Tempat Tinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan
dengan masa berlaku Izin Tinggal Terbatas.
(4) Surat Keterangan Tempat Tinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dibawa pada saat
berpergian.
Pasal 21
(1) Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas yang telah berubah status menjadi Orang Asing
yang memiliki Izin Tinggal Tetap wajib melaporkan kepada Instansi Pelaksana paling lambat 14
(empat belas) hari sejak diterbitkan Izin Tinggal Tetap.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Pelaksana mendaftar dan
menerbitkan KK dan KTP.
Pasal 22
(1) Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas atau Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap
yang akan pindah ke luar negeri wajib melaporkan kepada Instansi Pelaksana paling lambat 14
(empat belas) hari sebelum rencana kepindahannya.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Pelaksana rnelakukan
pendaftaran.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran Peristiwa Kependudukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21,
dan Pasal 22 diatur dalam Peraturan Presiden.
Paragraf 4
Penduduk Pelintas Batas
Pasal 24
(1) Penduduk Warga Negara Indonesia yang tinggal di perbatasan antarnegara yang bermaksud
melintas batas negara diberi buku pas lintas batas oleh instansi yang berwenang sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundangundangan.
(2) Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah memperoleh buku pas lintas batas wajib
didaftar oleh Instansi Pelaksana.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran bagi Penduduk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Pendataan Penduduk Renton Administrasi Kependudukan
Pasal 25
(1) Instansi Pelaksana wajib melakukan pendataan Penduduk rentan Administrasi Kependudukan yang
meliputi:
a. penduduk korban bencana alam;
b. penduduk korban bencana sosial;
c. orang terlantar; dan
d. komunitas terpencil.
(2) Pendataan Penduduk rentan Administrasi Kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dan huruf b dapat dilakukan di tempat sementara.
(3) Hasil pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar penerbitan Surat
Keterangan Kependudukan untuk Penduduk rentan Administrasi Kependudukan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendataan Penduduk rentan diatur dalam
Peraturan Presiden.
Bagian Keempat
Pelaporan Penduduk yang Tidak Mampu Mendaftarkan Sendiri
Pasal 26
(1) Penduduk yang tidak mampu rnelaksanakan sendiri pelaporan terhadap Peristiwa Kependudukan
yang menyangkut dirinya sendiri dapat dibantu oleh Instansi Pelaksana atau meminta bantuan
kepada orang lain.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Presiden.
BAB V
PENCATATAN SIPIL
Bagian Kesalu
Pencatatan Kelahiran
Paragraf 1
Pencatatan Kelahiran di Indonesia
Pasal 27
(1) Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya
peristiwa kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada
Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran.
Pasal 28
(1) Pencatatan kelahiran dalam Register Akta Kelahiran dan penerbitan Kutipan Akta Kelahiran
terhadap peristiwa kelahiran seseorang yang tidak diketahui asal-usulnya atau keberadaan orang
tuanya, didasarkan pada laporan orang yang menemukan dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan dari
kepolisian.
(2) Kutipan Akta Kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Pejabat Pencatatan
Sipil dan disimpan oleh Instansi Pelaksana.
Paragraf 2
Pencatatan Kelahiran di luar Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Pasal 29
(1) Kelahiran Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib
dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan kepada Perwakilan
Republik Indonesia.
(2) Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyelenggarakan pencatatan
kelahiran bagi orang asing, pencatatan dilakukan pada Perwakilan Republik Indonesia setempat.
(3) Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencatat peristiwa kelahiran
dalam Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran.
(4) Pencatatan Kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan kepada Instansi
Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Warga Negara Indonesia yang bersangkutan
kembali ke Republik Indonesia.
Paragraf 3
Pencatatan Kelahiran di atas Kapal Laut atau Pesawat Terbang
Pasal 30
(1) Kelahiran Warga Negara Indonesia di atas kapal laut atau pesawat terbang wajib dilaporkan oleh
Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat tujuan atau tempat singgah berdasarkan
keterangan kelahiran dari nahkoda kapal laut atau kapten pesawat terbang.
(2) Dalam hal tempat tujuan atau tempat singgah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kelahiran dilaporkan kepada Instansi Pelaksana
setempat untuk dicatat dalam Register Akta Kelahiran dan diterbitkan Kutipan Akta Kelahiran.
(3) Dalam hal tempat tujuan atau tempat singgah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kelahiran dilaporkan kepada negara tempat tujuan
atau tempat singgah.
(4) Apabila negara tempat tujuan atau tempat singgah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
menyelenggarakan pencatatan kelahiran bagi orang asing, pencatatan dilakukan pada Perwakilan
Republik Indonesia setempat.
(5) Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mencatat peristiwa kelahiran
dalam Register Akta Kelahiran dan rnenerbitkan Kutipan Akta Kelahiran.
(6) Pencatatan Kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) wajib dilaporkan oleh
Penduduk kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Warga Negara
Indonesia yang bersangkutan kembali ke Republik Indonesia.
Pasal 31
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan rata cara pencatatan kelahiran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dalam Peraturan Presiden.
Paragraf 4
Pencatatan Kelahiran yang Melampaui Batas Waktu
Pasal 32
(1) Pelaporan kelahiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) yang melampaui batas waktu
60 (enam puluh) hari sampai dengan 1 (satu) tahun sejak tanggal kelahiran, pencatatan
dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Kepala Instansi Pelaksana setempat.
(2) Pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan kelahiran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Kedua
Pencatatan Lahir Mali
Pasal 33
(1) Setiap lahir mati wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak lahir mati.
(2) Instansi Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) rnenerbitkan Surat Keterangan Lahir Mati.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan lahir mati sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
Pencatatan Perkawinan
Paragraf 1
Pencatatan Perkawinan di Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Pasal 34
(1) Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh
Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam
puluh) hari sejak tanggal perkawinan.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat
pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan.
(3) Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing diberikan kepada
suami dan istri.
(4) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penduduk yang beragama Islam
kepada KUAKec.
(5) Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan dalam Pasal 8 ayat
(2) wajib disampaikan oleh KUAKec kepada Instansi Pelaksana dalam waktu paling lambat 10
(sepuluh) hari setelah pencatatan perkawinan dilaksanakan.
(6) Hasil pencatatan data sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memerlukan penerbitan kutipan
akta Pencatatan Sipil.
(7) Pada tingkat kecamatan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada UPTD
Instansi Pelaksana.
Pasal 35
Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi:
a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan
b. perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing
yang bersangkutan.
Pasal 36
Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan perkawinan
dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.
Paragraf 2
Pencatatan Perkawinan di luar Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Pasal 37
(1) Perkawinan Warga Negara Indonesia di War wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib
dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan pada Perwakilan
Republik Indonesia.
(2) Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyelenggarakan pencatatan
perkawinan bagi Orang Asing, pencatatan dilakukan pada Perwakilan Republik Indonesia setempat.
(3) Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencatat peristiwa
perkawinan dalam Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan.
(4) Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan oleh yang
bersangkutan kepada Instansi Pelaksana di tempat tinggalnya paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak yang bersangkutan kernbali ke Indonesia.
Pasal 38
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata Cara pencatatan perkawinan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Keempat
Pencatatan Pembatalan Perkawinan
Pasal 39
(1) Pembatalan perkawinan wajib dilaporkan oleh Penduduk yang mengalami pembatalan perkawinan
kepada Instansi Pelaksana paling lambat 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan pengadilan
tentang pembatalan perkawinan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Instansi Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencabut Kutipan Akta Perkawinan dari
kepemilikan subjek akta dan rnengeluarkan Surat Keterangan Pembatalan Perkawinan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan pembatalan perkawinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Kelima
Pencatatan Perceraian
Paragraf 1
Pencatatan Perceraian di Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Pasal 40
(1) Perceraian wajib dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada Instansi Pelaksana paling Iambat 60
(enam puluh) hari sejak putusan pengadilan tentang perceraian yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat
pada Register Akta Perceraian dan menerbitkan Kutipan Akta Perceraian.
Paragraf 2
Pencatatan Perceraian di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pasal 41
(1) Perceraian Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib
dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan pada Perwakilan
Republik Indonesia.
(2) Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyelenggarakan pencatatan
perceraian bagi Orang Asing, pencatatan dilakukan pada Perwakilan Republik Indonesia setempat.
(3) Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencatat peristiwa perceraian
dalam Register Akta Perceraian dan rnenerbitkan Kutipan Akta Perceraian.
(4) Pencatatan perceraian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan oleh yang
bersangkutan kepada Instansi Pelaksana di tempat tinggalnya paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak yang bersangkutan kembali ke Republik Indonesia.
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan perceraian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41 diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Keenam
Pencatatan Pembatalan Perceraian
Pasal 43
(1) Pembatalan perceraian bagi Penduduk wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana
paling lambat 60 (enarn puluh) hari setelah putusan pengadilan tentang pembatalan perceraian
mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Pelaksana mencabut Kutipan
Akta Perceraian dari kepemilikan subjek akta dan mengeluarkan Surat Keterangan Pembatalan
Perceraian.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan pembatalan perceraian diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Bagian Ketujuh
Pencatatan Kematian
Paragraf 1
Pencatatan Kematian di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pasal 44
(1) Setiap kematian wajib dilaporkan oleh keluarganya atau yang mewakili kepada Instansi Pelaksana
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal kematian.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada
Register Akta Kematian dan menerbitkan Kutipan Akta Kematian.
(3) Pencatatan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan keterangan
kematian dan pihak yang berwenang.
(4) Dalam hal terjadi ketidakjelasan keberadaan seseorang karena hilang atau mati tetapi tidak
ditemukan jenazahnya, pencatatan oleh Pejabat Pencatatan Sipil baru dilakukan setelah adanya
penetapan pengadilan.
(5) Dalam hal terjadi kematian seseorang yang tidak jelas identitasnya, Instansi Pelaksana melakukan
pencatatan kematian berdasarkan keterangan dari kepolisian.
Paragraf 2
Pencatatan Kematian di luar Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Pasal 45
(1) Kematian Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib
dilaporkan oleh keluarganya atau yang mewakili keluarganya kepada Perwakilan Republik Indonesia
dan wajib dicatatkan kepada instansi yang berwenang di negara setempat paling lambat 7 (tujuh)
hari setelah kematian.
(2) Apabila Perwakilan Republik Indonesia mengetahui peristiwa kematian seseorang Warga Negara
Indonesia di negara setempat yang tidak dilaporkan dan dicatatkan paling lambat 7 (tujuh) hail sejak
diterimanya informasi tersebut, pencatatan kematiannya dilakukan oleh Perwakilan Republik
Indonesia.
(3) Dalam hal seseorang Warga Negara Indonesia dinyatakan hilang, pernyataan kematian karma
hilang dan pencatatannya dilakukan oleh Instansi Pelaksana di negara setempat.
(4) Dalam hal terjadi kematian seseorang Warga Negara Indonesia yang tidak jelas identitasnya,
pernyataan dan pencatatan dilakukan oleh Instansi Pelaksana di negara setempat.
(5) Keterangan pernyalaan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dicatatkan pada
Perwakilan Republik Indonesia setempat.
(6) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menjadi dasar Instansi Pelaksana di Indonesia
mencatat peristiwa tersebut dan menjadi bukti di pengadilan sebagai dasar penetapan pengadilan
mengenai kematian seseorang.
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengcnai persyaratan dan tata cara pencatatan kematian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 dan Pasal 45 diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Kedelapan
Pencatatan Pengangkatan Anak, Pengakuan Anak,
dan Pengesahan Anak
Paragraf 1
Pencatatan Pengangkatan Anak di Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Pasal 47
(1) Pencatatan pengangkatan anak dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan di tempat tinggal
pemohon.
(2) Pencatatan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh
Penduduk kepada Instansi Pelaksana yang menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran paling lambat 30
(tiga puluh) hari setelah diterimanya salinan penetapan pengadilan oleh Penduduk.
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat Pencatatan Sipil membuat
catatan pinggir pada Register Akta Kelahiran dan Kutipan Akta Kelahiran.
Paragraf 2
Pencatatan Pengangkatan Anak Warga Negara Asing
di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 48
(1) Pengangkatan anak warga negara asing yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia di luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di
negara setempat.
(2) Hasil pencatatan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada
Perwakilan Republik Indonesia.
(3) Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyelenggarakan pencatatan
Pengangkatan Anak bagi warga negara asing, warga negara yang bersangkutan melaporkan
kepada Perwakilan Republik Indonesia setempat untuk mendapatkan surat keterangan
pengangkatan anak.
(4) Pengangkatan anak warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat tinggalnya paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke Republik Indonesia.
(5) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Instansi Pelaksana mengukuhkan Surat
Keterangan Pengangkatan Anak.
Paragraf 3
Pencatatan Pengakuan Anak
Pasal 49
(1) Pengakuan anak wajib dilaporkan oleh orang tua pada Instansi Pelaksana paling larnbat 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal Surat Pengakuan Anak oleh ayah dan disetujui oleh ibu dari anak yang
bersangkutan.
(2) Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang tua yang
agamanya tidak membenarkan pengakuan anak yang lahir diluar hubungan perkawinan yang sah.
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat
pada Register Akta Pengakuan Anak dan menerbitkan Kutipan Akta Pengakuan Anak.
Paragraf 4
Pencatatan Pengesahan Anak
Pasal 50
(1) Setiap pengesahan anak wajib dilaporkan oleh orang tua kepada Instansi Pelaksana paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak ayah dan ibu dari anak yang bersangkutan melakukan perkawinan dan
mendapatkan akta perkaw(nan.
(2) Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang tua yang
agamanya tidak mernbenarkan pengesahan anak yang lahir diluar hubungan perkawinan yang sah.
(3) Berdasarkan laporan pengesahan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan
Sipil membuat catatan pinggir pada Akta Kelahiran.
Pasal 51
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan pengangkatan anak, pengakuan
anak, dan pengesahan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50
diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Kesembilan
Pencatatan Perubahan Nama dan Perubahan Status Kewarganegaraan
Paragraf 1
Pencatatan Perubahan Narna
Pasal 52
(1) Pencatatan perubahan nama dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri tempat
pemohon.
(2) Pencatatan perubahan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Penduduk
kepada Instansi Pelaksana yang rnenerbitkan akta Pencatatan Sipil paling lambat 30 (tiga puluh)
hari sejak diterimanya salinan penetapan pengadilan negeri oleh Penduduk.
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat Pencatatan Sipil membuat
catatan pinggir pada register akta Pencatatan Sipil dan kutipan akta Pencatatan Sipil.
Paragraf 2
Pencatatan Perubahan Status Kewarganegaraan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pasal 53
(1) Perubahan status kewarganegaraan dari warga negara asing menjadi Warga Negara Indonesia
wajib dilaporkan oleh Penduduk yang bersangkutan kepada Instansi Pelaksana di tempat peristiwa
perubahan status kewarganegaraan paling lambat 60 (enarn puluh) hari sejak berita acara
pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia oleh pejabat.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mernbuat
catatan pinggir pada register akta Pencatatan Sipil dan kutipan akta Pencatatan Sipil.
Paragraf 3
Pencatatan Perubahan Status Kewarganegaraan dan Warga Negara Indonesia Menjadi Warga Negara
Asing di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pasal 54
(1) Perubahan status kewarganegaraan dari Warga Negara Indonesia menjadi warga negara asing di
luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah mendapatkan persetujuan dari negara
setempat wajib dilaporkan oleh Penduduk yang bersangkutan kepada Perwakilan Republik
Indonesia.
(2) Perwakilan Republik Indonesia setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerbitkan Surat
Keterangan Pelepasan Kewarganegaraan Indonesia.
(3) Pelepasan kewarganegaraan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan oleh
Perwakilan Republik Indonesia setempat kepada menteri yang berwenang berdasarkan ketentuan
Peraturan Perundangundangan untuk diteruskan kepada Instansi Pelaksana yang menerbitkan akta
Pencatatan Slpll yang bersangkutan.
(4) Berdasarkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pejabat Pencatatan Sipil
mernbuat catatan pinggir pada register akta Pencatatan Sipil dan kutipan akta Pencatatan Sipil.
Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan perubahan nama dan status
kewarganegaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Pasal 53, dan Pasal 54 diatur dalam
Peraturan Presiden.
Bagian Kesepuluh
Pencatatan Peristiwa Penting Lainnya
Pasal 56
(1) Pencatatan Peristiwa Penting lainnya dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil atas permintaan
Penduduk yang bersangkutan setelah adanya penetapan pengadilan negeri yang lelah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
(2) Pencatatan Peristiwa Penting lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak diterimanya salinan penetapan pengadilan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan Peristiwa Penting lainnya
diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Kesebelas
Pelaporan Penduduk yang Tidak Mampu Melaporkan Sendiri
Pasal 57
(1) Penduduk yang tidak mampu melaksanakan sendiri pelaporan terhadap Peristiwa Penting yang
menyangkut dirinya sendiri dapat dibantu oleh Instansi Pelaksana atau meminta bantuan kepada
orang lain.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pelaporan Penduduk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.
BAB VI
DATA DAN DOKUMEN KEPENDUDUKAN
Bagian Kesatu
Data Kependudukan
Pasal 58
(1) Data Kependudukan terdiri atas data perseorangan dan/atau data agregat Penduduk.
(2) Data perseorangan meliputi :
a. nomor KK;
b. NIK;
c. nama lengkap:
d. jenis kelamin;
e. tempat lahir;
f. tanggal/bulan/tahun lahir;
g. golongan darah:
h. agama/kepercayaan;
i. status perkawinan;
j. status hubungan dalam keluarga;
k. cacat fisik dan/atau mental;
l. pendidikan terakhir:
m. jenis pekerjaan;
n. NIK ibu kandung;
o. nama ibu kandung;
p. NIK ayah;
q. nama ayah:
r. alamat sebelumnya;
s. alamat sekarang:
t. kepemilikan akta kelahiran/surat kenal lahir;
u. nomor akta kelahiran/nomor surat kenal lahir;
v. kepemilikan akta perkawinan/buku nikah;
w. nomor akta perkawinan/buku nikah;
x. tanggal perkawinan;
y. kepemilikan akta perceraian:
z. nomor akta perceraian/surat cerai;
aa. tanggal perceraian.
(3) Data agregat meliputi himpunan data perseorangan yang berupa data kuantitatif dan data kualitatif.
Bagian Kedua
Dokumen Kependudukan
Pasal 59
(1) Dokumen Kependudukan meliputi:
a. Biodata Penduduk:
b. KK;
c. KTP;
d. surat keterangan kependudukan: dan
e. Akta Pencatatan Sipil.
(2) Surat keterangan kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:
a. Surat Keterangan Pindah:
b. Surat Keterangan Pindah Datang:
c. Surat Keterangan Pindah ke Luar Negeri;
d. Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri;
e. Surat Keterangan Tempat'1inggal:
f. Surat Keterangan Kelahiran;
g. Surat Keterangan Lahir Mali.
h. Surat Keterangan Pembatalan Perkawinan;
i. Surat Keterangan Pembatalan Perceraian;
j. Surat Keterangan Kematian;
k. Surat Keterangan Pengangkatan Anak;
l. Surat Keterangan Pelepasan Kewarganegaraan Indonesia;
m. Surat Keterangan Pengganti Tanda Identitas; dan
n. Surat Keterangan Pencatatan Sipil.
(3) Biodata Penduduk, KK, KTP, Surat Keterangan Pindah Penduduk Warga Negara Indonesia
antarkabupaten/kota dalam satu provinsi dan antarprovinsi dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Surat Keterangan Pindah Datang Penduduk Warga Negara Indonesia
antarkabupaten/kota dalam satu provinsi dan antarprovinsi dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Surat Keterangan Pindah Datang Penduduk Orang Asing dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, Surat Keterangan Pindah ke Luar Negeri. Surat Keterangan
Datang dari Luar Negeri. Surat Keterangan Tempat Tinggal untuk Orang Asing Tinggal Terbatas,
Surat Keterangan Kelahiran untuk Orang Asing, Surat Keterangan Lahir Mati untuk Orang Asing,
Surat Keterangan Kematian untuk Orang Asing, Surat Keterangan Pembatalan Perkawinan, Surat
Keterangan Pembatalan Perceraian, Surat Keterangan Pengganti Tanda Identitas, diterbitkan dan
ditandatangani oleh Kepala Instansi Pelaksana.
(4) Surat Keterangan Pindah Penduduk Warga Negara Indonesia antarkecamatan dalam satu
kabupaten/kota, Surat Keterangan Pindah Datang Penduduk Warga Negara Indonesia
antarkecamatan dalam satu kabupaten/kota, dapat diterbitkan dan ditandatangani oleh camat atas
nama Kepala Instansi Pelaksana.
(5) Surat Keterangan Pindah Datang Penduduk Warga Negara Indonesia dalam satu desa/kelurahan,
Surat Keterangan Pindah Datang Penduduk Warga Negara Indonesia antardesa/kelurahan dalam
satu kecamatan, Surat Keterangan Kelahiran untuk Warga Negara Indonesia, Surat Keterangan
Lahir Mati untuk Warga Negara Indonesia dan Surat Keterangan Kematian untuk Warga Negara
Indonesia, dapat diterbitkan dan ditandatangani oleh kepala desa/lurah atas nama Kepala Instansi
Pelaksana.
(6) Surat Keterangan Pengakuan Anak dan Surat Keterangan Pelepasan Kewarganegaraan Republik
Indonesia, diterbitkan dan ditandatangani oleh Kepala Perwakilan Republik Indonesia.
Pasal 60
Biodata Penduduk paling sedikit memuat keterangan tentang nama, tempat dan tanggal lahir, alamat
dan jatidiri lainnya secara lengkap, serta perubahan data sehubungan dengan Peristiwa Kependudukan
dan Peristiwa Penting yang dialami.
Pasal 61
(1) KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota
keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal Iahir, agama, pendidikan, pekerjaan,
status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama
orang tua.
(2) Keterangan rnengenal kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang
agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database
Kependudukan.
(3) Nomor KK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk selamanya, kecuali terjadi
perubahan kepala keluarga.
(4) KK diterbitkan dan diberikan oleh Instansi Pelaksana kepada Penduduk Warga Negara Indonesia
dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap.
(5) KK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan salah satu dasar penerbitan KTP.
Pasal 62
(1) Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap hanya
diperbolehkan terdaftar dalam 1 (satu) KK.
(2) Perubahan susunan keluarga dalam KK wajib dilaporkan kepada lnstansi Pelaksana selambatlambatnya
30 (tiga puluh) hari sejak terjadinya perubahan.
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Instansi Pelaksana mendaftar dan
menerbitkan KK.
Pasal 63
(1) Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah
berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP.
(2) Orang Asing yang mengikuti status orang tuanya yang memiliki Izin Tinggal Tetap dan sudah
berumur 17 (tujuh belas) tahun wajib memiliki KTP.
(3) KTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku secara nasional.
(4) Penduduk wajib melaporkan perpanjangan masa berlaku KTP kepada Instansi Pelaksana apabila
masa berlakunya telah berakhir.
(5) Penduduk yang telah memiliki KTP wajib membawa pada saat bepergian.
(6) Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya diperbolehkan memiliki 1 (satu)
KTP.
Pasal 64
(1) KTP mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, memuat keterangan tentang NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau
perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas
foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP, tandatangan pemegang KTP, serta
memuat nama dan nomor induk pegawai pejabat yang menandatanganinya.
(2) Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya
belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi
penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.
(3) Dalam KTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan ruang untuk memuat kode keamanan
dan rekaman elektronik pencatatan Peristiwa Penting.
(4) Masa berlaku KTP:
a. untuk Warga Negara Indonesia berlaku selama 5 (lima) tahun:
b. untuk Orang Asing Tinggal Tetap disesuaikan dengan masa berlaku Izin Tinggal Tetap.
(5) Penduduk yang telah berusia 60 (enam puluh) tahun diberi KTP yang berlaku seumur hidup.
Pasal 65
Surat Keterangan Kependudukan paling sedikit memuat keterangan tentang nama lengkap, NIK, jenis
kelamin, tempat tanggal lahir, agama, alamat, Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang
dialami oleh seseorang.
Pasal 66
(1) Akta Pencatatan Sipil terdiri atas:
a. Register Akta Pencatatan Sipil; dan
b. Kutipan Akta Pencatatan Sipil.
(2) Akta Pencatatan Sipil berlaku selamanya.
Pasal 67
(1) Register Akta Pencatatan Sipil memuat seluruh data Peristiwa Penting.
(2) Data Peristiwa Penting yang berasal dari KUAKec diintegrasikan ke dalam database kependudukan
dan tidak diterbitkan Kutipan Akta Pencatatan Sipil.
(3) Register Akta Pencatatan Sipil disimpan dan dirawat oleh Instansi Pelaksana.
(4) Register Akta Pencatatan Sipil memuat:
a. jenis Peristiwa Penting;
b. NIK dan status kewarganegaraan;
c. nama orang yang mengalami Peristiwa Penting;
d. nama dan identitas pelapor;
e. tempat dan tanggal peristiwa;
f. nama dan identitas saksi:
g. tempat dan tanggal dikeluarkannya akta: dan
h. nama dan tanda tangan Pejabat yang berwenang.
Pasal 68
(1) Kutipan Akta Pencatatan Sipil terdiri atas kutipan akta:
a. kelahiran;
b. kematian;
c. perkawinan;
d. perceraian; dan
e. pengakuan anak.
(2) Kutipan Akta Pencatatan Sipil rnemuat:
a. jenis Peristiwa Penting;
b. NIK dan status kewarganegaraan;
c. nama orang yang mengalami Peristiwa Penting;
d. tempat dan tanggal peristiwa;
e. tempat dan tanggal dikeluarkannya akta;
f. nama dan tanda tangan Pejabat yang berwenang; dan
g. pernyataan kesesuaian kutipan tersebut dengan data yang terdapat dalam Register Akta
Pencatatan Sipil.
Pasal 69
(1) lnstansi Pelaksana atau Pejabat yang diberi kewenangan, sesuai tanggung jawabnya, wajib
menerbitkan dokumen Pendaftaran Penduduk sebagai berikut:
a. KK atau KTP paling lambat 14 (empat belas) hari:
b. Surat Keterangan Pindah paling lambat 14 (empat belas) hari;
c. Surat Keterangan Pindah Datang paling lambat 14 (empat belas) hari;
d. Surat Kerangan Pindah ke Luar Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari;
e. Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari;
f. Surat Keterangan Tempat Tinggal untuk Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas paling
lambat 14 (empat belas) hari;
g. Surat Keterangan Kelahiran paling lambat 14 (empat belas) hari;
h. Surat Keterangan Lahir Mati paling lambat 14 (empat belas) hari;
i. Surat Keterangan Kematian paling lambat 3 (tiga) hari;
j. Surat Keterangan Pembatalan Perkawinan paling lambat 7 (tujuh) hari; atau
k. Surat Keterangan Pembatalan Perceraian paling lambat 7 (tujuh) hari; sejak tanggal
dipenuhinya sernua persyaratan.
(2) Perwakilan Republik Indonesia wajib menerbitkan Surat Keterangan Kependudukan sebagai berikut:
a. Surat Keterangan Perceraian paling lambat 7 (tujuh) hari;
b. Surat Keterangan Pengangkatan Anak paling lambat 7 (tujuh) hari; atau
c. Surat Keterangan Pelepasan Kewarganegaraan Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari; sejak
tanggal dipenuhinya semua persyaratan.
(3) Pejabat Pencatatan Sipil dan Pejabat pada Perwakilan Republik Indonesia yang ditunjuk sebagai
pembantu pencatat sipil wajib mencatat pada register akta Pencatatan Sipil dan menerbitkan kutipan
akta Pencatatan Sipil paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dipenuhinya semua
persyaratan.
Pasal 70
(1) Pernbetulan KTP hanya dilakukan untuk KTP yang mengalami kesalahan tulis redaksional.
(2) Pembetulan KTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan atau tanpa
permohonon dari orang yang menjadi subjek KTP.
(3) Pembetulan KTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Instansi Pelaksana.
Pasal 71
(1) Pembelulan akta Pencatatan Sipil hanya dilakukan untuk akta yang mengalami kesalahan tulis
redaksional.
(2) Pembetulan akta Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan atau
tanpa permohonan dari orang yang menjadi subjek akta.
(3) Pembetulan akta Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat
Pencatatan Sipil sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 72
(1) Pembatalan akta Pencatatan Sipil dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Berdasarkan putusan pengadilan mengenai pembatalan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pejabat Pencatatan Sipil membuat catatan pinggir pada Register Akta dan mencabut kutipan aktaakta
Pencatatan Sipil yang dibatalkan dari kepemilikan subjek akta.
Pasal 73
Dalam hal wilayah hukum Instansi Pelaksana yang menerbitkan akta berbeda dengan pengadilan yang
memutus pembatalan akta, salinan putusan pengadilan disampaikan kepada Instansi Pelaksana yang
menerbitkan akta Pencatatan Sipil oleh pemohon atau pengadilan.
Pasal 74
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan pembetulan dan pembatalan
Akta Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72 diatur dalam Peraturan
Presiden.
Pasal 75
Ketentuan mengenai spesifikasi dan formulasi kalimat dalam Biodata Penduduk, blangko KK, KTP,
Surat Keterangan Kependudukan, Register dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil diatur dalam Peraturan
Menteri.
Pasal 76
Ketentuan mengenai penerbitan Dokumen Kependudukan bagi petugas rahasia khusus yang
melakukan tugas keamanan negara diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 77
Setiap orang dilarang mengubah, menambah atau mengurangi tanpa hak, isi elemen data pada
Dokumen Kependudukan.
Pasal 78
Ketentuan mengenai pedoman pendokumentasian hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil
diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Perlindungan Data dan Dokumen Kependudukan
Pasal 79
(1) Data dan dokumen kependudukan wajib disimpan dan dilindungi oleh negara.
(2) Menteri sebagai penanggung jawab memberikan hak akses kepada petugas pada Penyelenggara
dan Instansi Pelaksana untuk memasukkan, menyimpan, membaca, mengubah, meralat dan
menghapus, serta mencetak Data, mengkopi Data dan Dokumen Kependudukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, ruang lingkup, dan tata cara mengenai pemberian hak
akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VII
PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL
SAAT NEGARA ATAU SEBAGIAN NEGARA DALAM KEADAAN
DARURAT DAN LUAR BIASA
Pasal 80
(1) Apabila negara atau sebagian negara dinyatakan dalam keadaan darurat dengan segala
tingkatannya berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan, otoritas pemerintahan yang
menjabat pada saat itu diberi kewenangan membuat surat keterangan mengenai Peristiwa
Kependudukan dan Peristiwa Penting.
(2) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai dasar penerbitan Dokumen
Kependudukan.
(3) Apabila keadaan sudah dinyatakan pulih, Instansi Pelaksana aktif mendata ulang dengan
melakukan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil di tempat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 81
(1) Dalam hal terjadi keadaan luar biasa sebagai akibat bencana alam, Instansi Pelaksana wajib
melakukan pendataan Penduduk bagi pengungsi dan korban bencana alam.
(2) Instansi Pelaksana menerbitkan Surat Keterangan Pengganti Tanda Identitas dan Surat Keterangan
Pencatatan Sipil berdasarkan hasil pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Surat Keterangan Pengganti Tanda Identitas atau Surat Keterangan Pencatatan Sipil digunakan
sebagai tanda bukti diri dan bahan pertimbangan untuk penerbitan Dokumen Kependudukan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penerbitan Surat Keterangan Pengganti
Tanda Identitas dan Surat Keterangan Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam Peraturan Menteri.
BAB VIII
SISTEM INFORMASI ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
Pasal 82
(1) Pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan dilakukan oleh Menteri.
(2) Pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui pembangunan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut rnengenai Sistem informasi Administrasi Kependudukan dan
pengelolaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Pengkajian dan pengembangan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota
(5) Pedoman pengkajian dan pengembangan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri.
Pasal 83
(1) Data Penduduk yang dihasilkan oleh Sistem Informasi Administrasi Kependudukan dan tersimpan di
dalam database kependudukan dimanfaatkan untuk kepentingan perumusan kebijakan di bidang
pemerintahan dan pembangunan.
(2) Pemanfaatan data Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan izin
Penyelenggara.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara mendapatkan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB IX
PERLINDUNGAN DATA PRIBADI PENDUDUK
Pasal 84
(1) Data Pribadi Penduduk yang harus dilindungi memuat:
a. nomor KK;
b. NIK;
c. tanggal/bulan/tahun lahir;
d. keterangan tentang kecacatan fisik dan/atau mental;
e. NIK ibu kandung;
f. NIK ayah;dan
g. beberapa isi catatan Peristiwa Penting.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai beberapa isi catatan Peristiwa Penting sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 85
(1) Data Pribadi Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 wajib disimpan dan dilindungi oleh
negara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyimpanan dan perlindungan terhadap Data Pribadi Penduduk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(3) Data Pribadi Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dijaga kebenarannya dan
dilindungi kerahasiaannya oleh Penyelenggara dan Instansi Pelaksana sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 86
(1) Menteri sebagai penanggung jawab memberikan hak akses kepada petugas pada Penyelenggara
dan Instansi Pelaksana untuk memasukkan, menyimpan, membaca, mengubah, meralat dan
menghapus, mengkopi Data serta mencetak Data Pribadi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, ruang lingkup, dan tata cara mengenai pemberian hak
akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 87
(1) Pengguna Data Pribadi Penduduk dapat rnemperoleh dan menggunakan Data Pribadi dari petugas
pada Penyelenggara dan Instansi Pelaksana yang memiliki hak akses.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk memperoleh dan menggunakan
Data Pribadi Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB X
PENYIDIKAN
Pasal 88
(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya dalam bidang Administrasi Kependudukan diberi wewenang
khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan tugas
penyidikan berwenang untuk:
a. menerima laporan atau pengaduan dari orang atau badan hukum tentang adanya dugaan tindak
pidana Administrasi Kependudukan;
b. memeriksa laporan atau keterangan atas adanya dugaan tindak pidana Administrasi
Kependudukan:
c. memanggil orang untuk diminta keterangannya atas adanya dugaan sebagaimana dimaksud
pada huruf b; dan
d. membuat dan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan.
(3) Pengangkatan, mutasi, dan pemberhentian Penyidik Pegawai Negeri Sipil, serta mekanisme
penyidikan dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundangundangan.
BAB XI
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 89
(1) Setiap Penduduk dikenai sanksi administratif berupa denda apabila melampaui batas waktu
pelaporan Peristiwa Kependudukan dalam hal:
a. pindah datang bagi Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas atau Orang Asing yang
memiliki Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3);
b. pindah datang ke luar negeri bagi Penduduk Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (3);
c. pindah datang dari luar negeri bagi Penduduk Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (1);
d. pindah datang dari luar negeri bagi Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1):
e. perubahan status Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas menjadi Orang Asing yang
memiliki Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1);
f. pindah ke luar negeri bagi Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas atau Orang Asing
yang memiliki Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1);
g. perubahan KK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2): atau
h. perpanjangan KTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (4).
(2) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap Penduduk Warga Negara
Indonesia paling banyak Rp.1.000.000.00 (satu juta rupiah) dan Penduduk Orang Asing paling
banyak Rp.2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Benda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam Peraturan Presiden .
Pasal 90
(1) Setiap Penduduk dikenai sanksi administratif berupa denda apabila melampaui batas waktu
pelaporan Peristiwa Penting dalam hal:
a. kelahiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (4) atau Pasal 30
ayat (6) atau Pasal 32 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (1):
b. perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) atau Pasal 37 ayat (4):
c. pembatalan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1);
d. perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) atau Pasal 41 ayat (4);
e. pernbatalan perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1);
f. kematian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) atau Pasal 45 ayat (1);
g. pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) atau Pasal 48 ayat (4):
h. pengakuan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1):
i. pengesahan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1);
j. perubahan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2);
k. perubahan status kewarganegaraan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat
(1); atau
l. Peristiwa Penting lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2).
(2) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak Rp.1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam Peraturan Presiden.
Pasal 91
(1) Setiap Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (5) yang berpergian tidak membawa
KTP dikenakan denda administratif paling banyak Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).
(2) Setiap Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (4) yang berpergian tidak membawa Surat Keterangan Tempat Tinggal dikenai denda
administratif paling banyak Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah),
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dalam Peraturan Presiden.
Pasal 92
(1) Dalam hal Pejabat pada Instansi Pelaksana melakukan tindakan atau sengaja melakukan tindakan
yang memperlambat pengurusan Dokumen Kependudukan dalam batas waktu yang ditentukan
dalam Undang-Undang ini dikenakan sanksi berupa Benda paling banyak Rp.10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
(2) Ketentuan lebih lanjut rnengenai denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Presiden.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 93
Setiap Penduduk yang dengan sengaja memalsukan surat dan/atau dokumen kepada Instansi
Pelaksana dalam melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
Pasal 94
Setiap orang yang tanpa hak dengan sengaja mengubah, menambah, atau mengurangi isi elemen data
pada Dokumen Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah).
Pasal 95
Setiap orang yang tanpa hak mengakses database kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
79 ayat (1) dan/atau Pasal 86 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 96
Setiap orang atau badan hukum yang tanpa hak mencetak, menerbitkan, dan/atau mendistribusikan
blangko Dokumen Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Pasal 97
Setiap Penduduk yang dengan sengaja mendaftarkan diri sebagai kepala keluarga atau anggota
keluarga lebih dari satu KK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) atau untuk memiliki KTP
lebih dari satu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (6) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.25.000.000.00 (dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 98
(1) Dalam hal pejabat dan petugas pada Penyelenggara dan Instansi Pelaksana melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 atau Pasal 94, pejabat yang bersangkutan dipidana
dengan pidana yang sama ditambah 1/3 (satu pertiga).
(2) Dalam hal pejabat dan petugas pacla Penyelenggara dan Instansi Pelaksana membantu melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95, pejabat yang bersangkutan dipidana sesuai
dengan ketentuan undang-undang.
Pasal 99
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96, dan Pasal 97
adalah tindak pidana Administrasi Kependudukan.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 100
(1) Semua Dokumen Kependudukan yang telah diterbitkan atau yang telah ada pada saat Undang-
Undang ini diundangkan dinyatakan tetap berlaku menurut Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk KK dan KTP sampai dengan
batas waktu berlakunya atau diterbitkannya KK dan KTP yang sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 101
Pada saat Undang-Undang ini berlaku:
a. Pemerintah memberikan NIK kepada setiap Penduduk paling lambat 5 (lima) tahun;
b. Semua instansi wajib menjadikan NIK sebagai dasar dalam menerbitkan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) paling lambat 5 (lima) tahun;
c. KTP seumur hidup yang sudah mempunyai NIK tetap berlaku dan yang belum mempunyai NIK
harus disesuaikan dengan Undang-Undang ini;
d. KTP yang diterbitkan belum mengacu pada Pasal 64 ayat (3) tetap berlaku sampai dengan batas
waktu berakhirnya masa berlaku KTP;
e. Keterangan mengenai alamat, nama dan nomor induk pegawai pejabat dan penandatanganan oleh
pejabat pada KTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dihapus setelah database
kependudukan nasional terwujud.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 102
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, sernua Peraturan Pelaksanaan yang berkaitan dengan
Adnrinistrasi Kependudukan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 103
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 104
Pembentukan UPTD Instansi Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) dilakukan
paling lambat 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 105
Dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak diundangkannya Undang-Undang ini, Pemerintah
wajib rnenerbitkan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang penetapan persyaratan dan tata cara
perkawinan bagi para penghayat kepercayaan sebagai dasar diperolehnya kutipan akta perkawinan dan
pelayanan pencatatan Peristiwa Penting.
Pasal 106
Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku:
a. Buku Kesatu Bab Kedua Bagian Kedua dan Bab Ketiga Kitab Undang-Undang Hukurn Perdata
(Burgerlijk Wetboek voor Indonesie, Staatsblad 1847:23);
b. Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Eropa (Reglement op het Holden der Registers van den
Burgerlyken Stand voor Europeanen, Staatsblad 1849:25 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Staatsblad 1946:1361;
c. Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Cina (Bepalingen voor Geheel Indonesie Betreffende
het Burgerlijken Handelsrecht van de Chinezean. Staatsblad 1917:129 jo. Staatsblad 1939:288
sebagaimana diubah terakhir dengan Staatsblad 1946:136);
d. Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Indonesia (Reglement op het Holden van de Registers
van den Burgerlijeken Stand Door Eenigle Groepen v.d nit tot de Onderhoringer van een
Zelfbestuur, behoorende Ind. Bevolking van Java en Madura,Staatsblad 1920:751 jo. Staatsblad
1927:564);
c. Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Kristen Indonesia (Huwelijksordonantie voor Christenen
Indonesiers Java, Minahasa en Amboiena, Staatsblad 1933:74 jo. Staatsblad 1936:607
sebagaimana diubah terakhir dengan Staatsblad 1939:288);
f. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1961 tentang Perubahan atau Penambahan Nama Keluarga
(Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2154);
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 107
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang rnengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2006
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA AD
INTERIM REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YUSRIL IHZA MAHENDRA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 124
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG
ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
I. UMUM
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya berkewajiban untuk mernberikan
perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum setiap Peristiwa
Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk yang berada di dalam dan/atau
di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berbagai Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan tegas menjamin hak setiap Penduduk
untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, mernperoleh
status kewarganegaraan, menjamin kebebasan memeluk agama. dan memilih tempat tinggal di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan rneninggalkannya, serta berhak kembali.
Peristiwa Kependudukan, antara lain perubahan alamat, pindah datang untuk menetap, tinggal
terbatas, serta perubahan status Orang Asing Tinggal Terbatas menjadi tinggal tetap dan Peristiwa
Penting, antara lain kelahiran, lahir mati, kematian, perkawinan, dan perceraian, termasuk
pengangkatan, pengakuan, dan pengesahan anak, serta perubahan status kewarganegaraan, ganti
nama dan Peristiwa Penting lainnya yang dialami oleh seseorang merupakan kejadian yang harus
dilaporkan karena membawa implikasi perubahan data identitas atau surat keterangan
kependudukan. Untuk itu, setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting memerlukan bukti
yang sah untuk dilakukan pengadministrasian dan pencatatan sesuai dengan ketentuan undangundang.
Dalam pemenuhan hak Penduduk, terutama di bidang Pencatatan Sipil, masih ditemukan
penggolongan Penduduk yang didasarkan pada perlakuan diskriminatif yang membeda-bedakan
suku, keturunan, dan agama sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan produk kolonial
Belanda. Penggolongan Penduduk dan pelayanan diskriminatif yang demikian itu tidak sesuai
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kondisi
tersebut mengakibatkan pengadministrasian kependudukan mengalami kendala yang mendasar
sebab sumber Data Kependudukan belum terkoordinasi dan terintegrasi, serta terbatasnya cakupan
pelaporan yang belum terwujud dalam suatu sistem Administrasi Kependudukan yang utuh dan
optimal.
Kondisi sosial dan administratif seperti yang dikemukakan di atas tidak memiliki sistem
database kependudukan yang menunjang pelayanan Administrasi Kependudukan.
Kondisi itu harus diakhiri dengan pembentukan suatu sistem Administrasi Kependudukan yang
sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi untuk memenuhi tuntutan masyarakat
atas pelayanan kependudukan yang profesional.
Seluruh kondisi tersebut di atas menjadi dasar pertimbangan perlunya membentuk Undang-
Undang tentang Administrasi Kependudukan.
Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan ini memuat pengaturan dan
pembentukan sistem yang rnencerminkan adanya reformasi di bidang Administrasi Kependudukan.
Salah satu hal penting adalah pengaturan mengenai penggunaan Nomor Induk Kependudukan
(NIK). NIK adalah identitas Penduduk Indonesia dan merupakan kunci akses dalam melakukan
verifikasi dan validasi data jati diri seseorang guna mendukung pelayanan publik di bidang
Administrasi Kependudukan. Sebagai kunci akses dalam pelayanan kependudukan, NIK
dikembangkan ke arah identifikasi tunggal bagi setiap Penduduk. NIK bersifat unik atau khas,
tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai Penduduk Indonesia dan berkait
secara langsung dengan seluruh Dokumen Kependudukan.
Untuk penerbitan NIK, setiap Penduduk wajib mencatatkan biodata Penduduk yang diawali
dengan pengisian formulir biodata Penduduk di desa/kelurahan secara benar. NIK wajib
dicantumkan dalam setiap Dokumen Kependudukan, baik dalam pelayanan Pendaftaran Penduduk
rnaupun Pencatatan Sipil, serta sebagai dasar penerbitan berbagai dokumen yang ditetapkan
berdasarkan ketentuan Peraturan Perundangundangan.
Pendaftaran Penduduk pada dasarnya menganut stelsel aktif bagi Penduduk. Pelaksanaan
Pendaftaran Penduduk didasarkan pada asas domisili atau tempat tinggal alas terjadinya Peristiwa
Kependudukan yang dialami oleh seseorang dan/atau keluarganya. Pencatatan Sipil pada dasarnya
juga menganut stelsel aktif bagi Penduduk. Pelaksanaan Pencatatan Sipil didasarkan pada asas
Peristiwa, yaitu tempat dan waktu terjadinya Peristiwa Penting yang dialami oleh dirinya dan/atau
keluarganya.
Administrasi Kependudukan sebagai suatu sistem diharapkan dapat diselenggarakan sebagai
bagian dari penyelenggaraan administrasi negara. Dari sisi kepentingan Penduduk, Administrasi
Kependudukan memberikan pemenuhan hak-hak administratif, seperti pelayanan publik serta
perlindungan yang berkenaan dengan Dokumen Kependudukan, tanpa adanya perlakuan yang
diskriminatif.
Administrasi Kependudukan diarahkan untuk:
1. memenuhi hak asasi setiap orang di bidang Administrasi Kependudukan tanpa diskriminasi
dengan pelayanan publik yang profesional;
2. meningkatkan kesadaran Penduduk akan kewajibannya untuk berperan serta dalam
pelaksanaan Administrasi Kependudukan;
3. memenuhi data statistik secara nasional mengenai Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa
Penting;
4. mendukung perumusan kebijakan dan perencanaan pembangunan secara nasional, regional,
serta lokal; dan
5. mendukung pembangunan sistem Administrasi Kependudukan.
Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan berlujuan untuk:
1. memberikan keabsahan identitas dan kepastian hukum atas dokumen Penduduk untuk setiap
Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk;
2. memberikan perlindungan status hak sipil Penduduk;
3. menyediakan data dan informasi kependudukan secara nasional mengenai Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil pada berbagai tingkatan secara akurat, lengkap, mutakhir, dan
mudah diakses sehingga menjadi acuan bagi perumusan kebijakan dan pembangunan pada
umumnya;
4. mewujudkan tertib Administrasi Kependudukan secara nasional dan terpadu; dan
5. menyediakan data Penduduk yang menjadi rujukan dasar bags sektor terkait dalam
penyelenggaraan setiap kegiatan pemerintrhan, pembangunan, dan kemasyarakatan.
Prinsip-prinsip tersebut di alas menjadi dasar terjaminnya penyelenggaraan Administrasi
Kependudukan sebagaimana yang dikehendaki oleh Undang-Undang ini melalui penerapan Sistem
Inforniasi Administrasi Kependudukan.
Sistem Informasi Administrasi Kependudukan dimaksudkan untuk:
1. terselenggaranya Administrasi Kependudukan dalam skala nasional yang terpadu dan tertib;
2. terselenggaranya Administrasi Kependudukan yang bersifat universal, permanen, wajib, dan
berkelanjutan;
3. terpenuhinya hak Penduduk di bidang Administrasi Kependudukan dengan pelayanan yang
profesional; dan
4. tersedianya data dan inforrnasi secara nasional mengenai Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil pada berbagai tingkatan secara akurat, lengkap, mutakhir, dan mudah diakses
sehingga menjadi acuan bagi perumusan kebijakan dan pembangunan pada umumnya.
Secara keseluruhan, ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi hak dan
kewajiban Penduduk, Penyelenggara dan Instansi Pelaksana, Pendaftaran Penduduk, Pencatatan
Sipil, Data dan Dokumen Kependudukan. Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Pada Saat
Negara Dalam Keadaan Darurat, pemberian kepastian hukum, dan perlindungan terhadap Data
Pribadi Penduduk. Untuk rnenjamin pelaksanaan Undang-Undang ini dari kemungkinan
pelanggaran, baik adminislratif rnaupun ketentuan materiil yang bersifat pidana, diatur juga
ketentuan rnengenai tata cara penyidikan serta pengaturan mengenai Sanksi Administratif dan
Ketentuan Pidana.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Persyaratan yang dimaksud adalah sesuai dengan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini.
Pasal 4
Lihat Penjelasan Pasal 3.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan "Pemerintah" adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penetapan sistem, pedoman, dan standar yang bersifat nasional di bidang Administrasi
Kependudukan sangat diperlukan dalam upaya penertiban Administrasi Kependudukan.
Penetapan pedoman di bidang Administrasi Kependudukan oleh Presiden, baik dalam
bentuk Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden, serta pedoman yang ditetapkan
oleh Menteri dalam bentuk Peraturan Menteri digunakan sebagai acuan dalam pembuatan
peraturan daerah oleh propinsi/kabupaten/kota.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan berskala nasional"
adalah pengelolaan Data Kependudukan yang menggambarkan kondisi nasional dengan
menggunakan SIAK yang disajikan sesuai dengan kepentingan penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan berskala provinsi"
adalah pengelolaan data kependudukan yang menggambarkan kondisi provinsi dengan
menggunakan SIAK yang disajikan sesuai dengan kepentingan penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "desa" adalah kesatuan masyarakat hukum yang rnemiliki
batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui
dan dihormati dalam sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan berskala
kabupaten/kota" adalah pengelolaan Data Kependudukan yang menggambarkan
kondisi kabupaten/kota dengan menggunakan SIAK yang disajikan sesuai dengan
kepentingan penyelenggaraan pemerintahan dan pernbangunan.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sesuai kekhususannya berbeda dengan provinsi
yang lain karena diberi kewenangan untuk menyelenggarakan Administrasi Kependudukan
seperti kabupaten/kota.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberian NIK kepada Penduduk menggunakan Sistem Informasi Administrasi
Kependudukan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dokumen Pendaftaran Penduduk" adalah bagian dari Dokumen
Kependudukan yang dihasilkan dari proses Pendaftaran Penduduk, misalnya KK, KTP, dan
Biodata.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "hari" adalah hari kerja (berlaku untuk penjelasan "hari" pada pasalpasal
berikutnya).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pindah ke luar negeri" adalah Penduduk yang tinggal menetap di
luar negeri atau meninggalkan tanah air untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berturut-turut
atau lebih dari 1 (satu) tahun.
Penduduk tersebut termasuk Tenaga Kerja Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pelaporan pada Kantor Perwakilan Republik Indonesia diperlukan sebagai bahan
pendataan WNI di luar negeri.
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "datang dari luar negeri" adalah WNI yang sebelumnya pindah ke
Iuar negeri kemudian datang untuk menetap kembali di Republik Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "Surat Kelerangan Tempat Tinggal" adalah Surat Keterangan
Kependudukan yang diberikan kepada Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas
sebagai bukti diri bahwa yang bersangkutan telah terdaftar di pemerintah daerah
kabupaten/kota sebagai Penduduk tinggal terbatas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Penduduk Pelintas Batas" adalah Penduduk yang bertempattinggal
secara turun-temurun di wilayah kabupaten/kota yang berbatasan Iangsung dengan
negara tetangga yang melakukan lintas batas antarnegara karena kegiatan ekonomi, sosial
dan budaya yang ditetapkan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Penduduk rentan Administrasi Kependudukan" adalah Penduduk
yang mengalami hambatan dalam memperoleh Dokumen Kependudukan yang disebabkan
oleh bencana alam dan kerusuhan sosial.
Pendataan dilakukan dengan membentuk tim di daerah yang beranggotakan dari instansi
terkait.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "orang terlantar" adalah Penduduk yang karena suatu sebab
sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhannya secara wajar, baik rohani, jasmani
maupun sosial.
Ciri-cirinya:
1) tidak terpenuhinya kebutuhan dasar hidup khususnya pangan, sandang dan papan;
2) tempat tinggal tidak tetap/gelandangan;
3) tidak mempunyai pekerjaan/kegiatan yang tetap;
4) miskin.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "komunitas terpencil" adalah kelompok sosial budaya yang
bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan
pelayanan, baik sosial, ekonomi maupun politik.
Ciri-cirinya:
1) berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen;
2) pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan;
3) pada umumnya terpencil secara geografis dan relatif sulit terjangkau;
4) peralatan teknologi sederhana;
5) terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "tempat sementara" adalah tempat pada saat terjadi pengungsian.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Penduduk yang tidak mampu melaksanakan sendiri pelaporan"
adalah Penduduk yang tidak mampu melaksanakan pelaporan karena pertimbangan umur,
sakit keras, cacat fisik dan cacat mental.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tempat terjadinya peristiwa kelahiran" adalah wilayah terjadinya
kelahiran.
Waktu pelaporan kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari merupakan tenggang waktu
yang memungkinkan bagi Penduduk untuk melaporkan peristiwa kelahiran sesuai dengan
kondisi/letak geografis Indonesia.
Penduduk yang wajib melaporkan kelahiran adalah Kepala Keluarga.
Ayat (2)
Penerbitan Kutipan Akta Kelahiran tanpa dipungut biaya sebagaimana diatur dalam
Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kutipan akta kelahiran seorang anak yang tidak diketahui asal usulnya atau keberadaan
orang tuanya diserahkan kepada yang bersangkutan setelah dewasa.
Pasal 29
Ayat (1)
Kewajiban untuk melaporkan kepada "instansi yang berwenang di negara setempat"
berdasarkan asas yang dianut, yaitu asas peristiwa.
Yang dimaksud dengan "instansi yang berwenang di negara setempat" adalah lembaga
yang berwenang seperti yang dimaksud dengan Instansi Pelaksana dalam Undang-Undang
ini.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tempat singgah" adalah tempat persinggahan pesawat terbang
atau kapal laut dalam perjalanannya mencapai tujuan. Hal ini sesuai dengan asas yang
berlaku secara universal, yakni tempat di mana peristiwa kelahiran (persinggahan pertama
pesawat terbang/kapal laut), apabila memungkinkan pelaporan dilakukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Persetujuan dari Instansi Pelaksana diperlukan mengingat pelaporan kelahiran tersebut
sudah melampaui batas waktu sampai dengan 1 (satu) tahun dikhawatirkan terjadi
manipulasi data atau hal-hal yang tidak diinginkan. Persetujuan tersebut juga berfungsi
sebagai verifikasi atas keabsahan data yang dilaporkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "lahir mati" adalah kelahiran seorang bayi dari kandungan yang
berumur paling sedikit 28 (dua puluh delapan) rninggu pada saat dilahirkan tanpa
menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
Ayat (2)
Peristiwa lahir mati hanya diberikan Surat Keterangan Lahir Mati, tidak diterbitkan Akta
Pencatatan Sipil.
Meskipun tidak diterbitkan Akta Pencatatan Sipil tetapi pendataannya diperlukan untuk
kepentingan perencanaan dan pembangunan di bidang kesehatan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Perkawinan bagi Penduduk yang beragama Islam dicatat oleh Kantor Urusan Agama
Kecamatan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Ayat (2)
Penerbitan Akta Perkawinan bagi Penduduk yang beragama Islam dilakukan oleh
Departemen Agama.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Karena Akta Perkawinan bagi Penduduk yang beragama Islam sudah diterbitkan oleh
KUAKec, data perkawinan yang diterima oleh Instansi Pelaksana tidak perlu diterbitkan
Kutipan Akta Perkawinan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 35
Huruf a
Yang dimaksud dengan "Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan" adalah perkawinan
yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.
Huruf b
perkawinan yang dilakukan oleh warga negara asing di Indonesia, harus berdasarkan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan Indonesia mengenai Perkawinan di Republik
Indonesia.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Bagi penganut agama Islam diberlakukan ketentuan mengenai rujuk yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk jo.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kematian" adalah tidak adanya secara permanen seluruh
kehidupan pada saat mana pun setelah kelahiran hidup terjadi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pihak yang berwenang" adalah kepala rumah sakit,
dokter/paramedis, kepala desa/Iurah atau kepolisian.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "pernyataan" adalah keterangan dari pejabat yang berwenang.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pengangkatan anak" adalah perbuatan hukum untuk mengalihkan
hak anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain
yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke
dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "catatan pinggir" adalah catatan mengenai perubahan status atas
terjadinya Peristiwa Penting dalam bentuk catatan yang diletakkan pada bagian pinggir akta
atau bagian akta yang memungkinkan (di halaman/ bagian muka atau belakang akta) oleh
Pejabat Pencatatan Sipil.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pengakuan anak" adalah pengakuan seorang ayah terhadap
anaknya yang lahir di luar ikatan perkawinan sah atas persetujuan ibu kandung anak
tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pengesahan anak" adalah pengesahan status seorang anak yang
lahir di luar ikatan perkawinan sah pada saat pencatatan perkawinan kedua orang tua anak
tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembuatan catatan pinggir pada akta Pencatatan Sipil diperuntukkan bagi warga negara
asing yang melakukan perubahan kewarganegaraan dan pernah mencatatkan Peristiwa
Penting di Republik Indonesia.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Peristiwa Penting lainnya" adalah peristiwa yang ditetapkan oleh
pengadilan negeri untuk dicatatkan pada Instansi Pelaksana, antara lain perubahan jenis
kelamin.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup Jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Yang dimaksud dengan cacat fisik dan/atau mental berdasarkan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan yang menetapkan tentang hal tersebut.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.
Huruf t
Cukup jelas.
Huruf u
Cukup jelas.
Huruf v
Cukup jelas.
Huruf w
Cukup jelas.
Huruf x
Cukup jelas.
huruf y
Cukup jelas.
Huruf z
Cukup jelas.
Huruf aa
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "data agregat" adalah kumpulan data tentang Peristiwa
Kependudukan, Peristiwa Penting, jenis kelamin, kelompok usia, agama, pendidikan, dan
pekerjaan.
Yang dimaksud dengan "data kuantitatif adalah data yang berupa angka-angka.
Yang dimaksud dengan "data kualitatif adalah data yang berupa penjelasan.
Pasal 59
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "Biodata Penduduk" adalah keterangan yang berisi elemen data
tentang jatidiri, informasi dasar serta riwayat perkembangan dan perubahan keadaan
yang dialami oleh Penduduk sejak saat kelahiran.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 60
Kata "paling sedikit" dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kemungkinan adanya
tambahan keterangan, tetapi keterangan tersebut tidak bersifat diskriminatif.
Yang dimaksud dengan "alamat" adalah alamat sekarang dan alamat sebelumnya. Yang
dimaksud dengan "jati diri lainnya" meliputi nomor KK, NIK, laki-laki/ perempuan, golongan
darah, agama, pendidikan terakhir, pekerjaan penyandang cacat fisik dan/atau mental, status
perkawinan, kedudukan/hubungan dalam keluarga, NIK ibu kandung, nama ibu kandung, NIK
ayah kandung, nama ayah kandung, nomor paspor, tanggal berakhir paspor, nomor akta
kelahiran/surat kenal lahir, nomor akta perkawinan/buku nikah, tanggal perkawinan, nomor akta
perceraian/surat cerai, dan tanggal perceraian.
Pasal 61
Ayat (1)
Yang dimaksud "dengan Kepala Keluarga" adalah :
a. orang yang bertempat tinggal dengan orang lain, baik mempunyai hubungan darah
maupun tidak, yang bertanggung jawab terhadap keluarga;
b. orang yang bertempat tinggal seorang diri; atau
c. kepala kesatrian, kepala asrama, kepala rumah yatim piatu, dan lain-lain tempat
beberapa orang tinggal bersama-sama.
Setiap kepala keluarga wajib memiliki KK, meskipun kepala keluarga tersebut masih
menumpang di rumah orang tuanya karena pada prinsipnya dalam satu alamat rumah boleh
terdapat lebih dari satu KK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "perubahan susunan keluarga dalam KK" adalah perubahan yang
diakibatkan adanya Peristiwa Kependudukan atau Peristiwa Penting seperti pindah datang,
kelahiran, atau kematian.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Dalam rangka menciptakan kepemilikan 1 (satu) KTP untuk 1 (satu) Penduduk diperlukan
sistem keamanan/pengendalian dan sisi administrasi ataupun teknologi informasi dengan
melakukan verifikasi dan validasi dalam sistem database kependudukan serta pemberian
NIK.
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan tentang pindah domisili tetap bagi KTP seumur hidup mengikuti ketentuan yang
berlaku menurut Undang-Undang ini.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Yang dimaksud dengan "pejabat yang berwenang" adalah Pejabat Pencatatan Sipil
pada Instansi Pelaksana yang telah diambil sumpahnya untuk melakukan tugas
pencatatan.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kesalahan tulis redaksional", misalnya kesalahan penulisan huruf
dan/atau angka.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembetulan akta biasanya dilakukan pada saat akta sudah selesai di proses (akta sudah
jadi) tetapi belum diserahkan atau akan diserahkan kepada subjek akta. Pembetulan akta
atas dasar koreksi dan petugas, wajib diberitahukan kepada subjek akta.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Pembatalan akta dilakukan atas permintaan orang lain atau subjek akta, dengan alasan akta
cacat hukum karena dalam proses pernbuatan didasarkan pada keterangan yang tidak benar
dan tidak sah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Yang dimaksud dengan "petugas rahasia" adalah reserse dan intel yang melakukan tugasnya di
luar daerah domisilinya.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "negara atau sebagian dari negara dinyatakan dalam keadaan
darurat dengan segala tingkatannya" adalah sebagaimana diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Surat Keterangan Pencatatan Sipil" adalah surat keterangan yang
diterbitkan oleh lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
ini ketika negara atau sebagian negara dalam keadaan luar biasa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembangunan dan pengembangan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan bertujuan
mewujudkan komitmen nasional dalam rangka menciptakan sistem pengenal tunggal,
berupa NIK, bagi seluruh Penduduk Indonesia. Dengan demikian, data Penduduk dapat
diintegrasikan dan direlasionalkan dengan data hasil rekaman pelayanan Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil. Sistem ini akan menghasilkan data Penduduk nasional
yang dinamis dan mutakhir.
Pembangunan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan dilakukan dengan
menggunakan perangkat keras, perangkat lunak dan sistem jaringan komunikasi data yang
efisien dan efektif agar dapat diterapkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Bagi wilayah yang belum memiliki fasilitas komunikasi data, sistem komunikasi
data dilakukan dengan manual dan semielektronik.
Yang dimaksud dengan "manual" adalah perekaman data secara manual, yang pengiriman
data dilakukan secara periodik dengan sistem pelaporan berjenjang karena tidak tersedia
listrik ataupun jaringan komunikasi data.
Yang dimaksud dengan "semielektronik" adalah perekaman data dengan menggunakan
komputer, tetapi pengirimannya inenggunakan compact disc (CD) atau disket secara
periodik karena belum tersedia jaringan komunikasi data.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Data Penduduk yang dihasilkan oleh sistem informasi dan tersimpan di dalam database
kependudukan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti dalam menganalisa
dan merumuskan kebijakan kependudukan, menganalisa dan merumuskan perencanaan
pembangunan, pengkajian ilmu pengetahuan. Dengan demikian baik pemerintah maupun
non pemerintah untuk kepentingannya dapat diberikan izin terbatas dalam arti terbatas
waktu dan peruntukkannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 84
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "beberapa isi catatan Peristiwa Penting" adalah beberapa
catatan mengenai data yang bersifat pribadi dan berkaitan dengan Peristiwa Penting
yang perlu dilindungi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 85
Ayat (1)
Lihat Penjelasan Pasal 84 huruf g.
Ayat (2)
Penyimpanan dan perlindungan dimaksud meliputi tata cara dan penanggung jawab.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pengguna Data Pribadi Penduduk" adalah instansi pemerintah dan
swasta yang rnembutuhkan informasi data sesuai dengan bidangnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 88
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil memberitahukan kepada Pejabat Penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia mengenai saat dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil
penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Pejabat Penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan jaminan bahwa hasil
penyidikannya telah memenuhi ketentuan dan persyaratan. Mekanisme hubungan
koordinasi antara Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundangundangan.
Yang dimaksud dengan "Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Administrasi
Kependudukan" adalah pegawai negeri yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan di bidang Administrasi Kependudukan.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penelapan besaran Benda adrninistratif dalam Peraturan Presiden dilakukan dengan
memperhatikan kondisi masyarakat di setiap daerah.
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penetapan besaran denda administratif dalam Peraturan Presiden dilakukan dengan
mernperhatikan kondisi masyarakat di setiap daerah.
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penetapan besaran denda administratif dalam Peraturan Presiden dilakukan dengan
memperhatikan kondisi masyarakat di setiap daerah.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Pembentukan UPTD Instansi Pelaksana dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan
pelayanan masyarakat.
Pasal 105
Yang dimaksud dengan "persyaratan dan tata cara perkawinan bagi penghayat kepercayaan"
adalah persyaratan dan tata cara pengesahan perkawinan yang ditentukan oleh penghayat
kepercayaan sendiri dan ketentuan itu menjadi dasar pengaturan dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4674
Tidak ada komentar:
Posting Komentar