Kamis, 28 Juli 2011

Ari, si anak beruntung

Ari, anak yang tidak terlalu banyak bicara dengan ayahnya. Hanya pada ibunya dia sering mengeluarkan unek dan keluh kesahnya. Tiba pada suatu hari, saat Ari sangat memerlukan uang untuk memenuhi kebutuhannya, dia mengajak aku untuk menemaninya pulang ke rumahnya di Sawang. Tujuannya hanya satu, mendapatkan uang.
Setelah bergegas dari Matang ke Sawang, sampailah kami dirumah Ari. Satu jam setengah, Ari menunggu ayahnya pulang dari berkebun. Hingga pukul 18.30 sampailah kedua orang tua Ari ke rumah sepulang ‘mencari nafkah’ di kebun. Ku berikan senyumku pada mereka sebagai ungkapan salam. Ayah Ari membalas dengan menyapaku dengan akrab. Dan kami pun terlibat pembicaraan.
Dari luar ruangan, Ari yang telah sejak dari tadi menunggu, mulai membisikkan sesuatu pada sang Bunda. Lalu, Ibunda pun memberitahukan kepada sang ayah akan keperluan sang anak. Tanpa pikir panjang lebar, tangan sang ayah pun mulai merogoh sakunya dengan hanya sekali menanyakan alasan keperluan uang pada si Ari. Ari hanya berkilah, “Untuk SPP, Yah...”.
Dalam hatiku berkata, “Enak banget ayahnya”. Aku mulai teringat dan membayangi masa – masa kecilku dulu. Dulu ketika aku mengalami hal serupa dengan yang dialami oleh si Ari yang sedang sangat membutuhkan uang, aku tidak pernah berani untuk memintanya langsung pada ayah. Aku hanya membisik – bisikkan keluhku pada sang Ibu. Melalui perantara sang Ibu lah ayahku tahu apa yang ada dalam hatiku. Tapi, yang berbeda adalah bahwa sangat sulit untuk meyakinkan kepada ayahku untuk memahami betapa aku sangat memerlukan uang itu. Aku sadar, betapa susahnya mencari uang. Tapi aku tidak memanfaatkan ayah sebagai ‘ATM’ yang bisa kapan saja aku ‘tarik’ uang untuk memenuhi kebutuhanku. Teringat aku, betapa sulit seakan dapat digambarkan dengan birokrasi yang berbelit yang harus dilalui oleh perusahaan yang hendak melakukan investasi di suatu daerah, begitulah kesulitan yang harus aku lalui ketika meminta pertolongan kepada ayah. Segala pertanyaan, mulai dari tingkat bawah hingga tingkat atas muncul sebagai bahan wawancara sebelum permintaanku diloloskan. Tidak jarang terkadang ’nasehat yang keras’ membumbui agar aku yakin betapa sulit mencari uang itu.
Tapi itu hanya cerita dulu. Sekarang aku telah dewasa. Aku telah matang untuk memahami segalanya. Aku hanya terharu ketika hari itu aku melihat tangan belas kasih seorang Ayah Ari yang baru saja pulang dari mencari nafkah lalu memberikan sejumlah uang yang tak bisa dikatakan sedikit untuk sang anak yang dicintainya. Cinta orang tua kepada anaknya tiada tara. Walaupun terkadang didikan yang diberikan orang tua tidak sesuai dalam pemikiran si anak, tetapi itu adalah bagian cinta yang diberikannya lewat sentuhan dan pola pendidikan agar ia dapat melihat keberhasilan anaknya suatu saat kelak. Anak yang baik adalah anak yang selalu dapat berbakti kepada kedua orang tuanya, dan mampu membuat keduanya bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar